Jumat, 05 Agustus 2011

Kerajaan Hirah dan Ghassan

KERAJAAN HIRAH (Tahun 184 M – 634 M)
dan GHASSAN (Tahun 210 M – 641 M)




                                               



Siti Soffah, 0906641333



Paper untuk Tugas Akhir Mata Kuliah
Sejarah Masyarakat Arab



FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI SASTRA ARAB

Mei 2011



KERAJAAN HIRAH DAN GHASSAN

A.   Kerajaan Hirah

A.1 Latar Belakang Berdirinya Hirah
Kerajaan Persia berhasil dikalahkan oleh Iskandar Agung, sehingga terjadilah perpecahan dan berdirilah kerajaan-kerajaan kecil dan lemah yang saling bermusuhan yang disebut Mulukuth Thawaif. Pada masa pemerintahan Mulukuth Thawaif (330 SM – 230 M) di Persia, terjadilah suatu bencana yaitu banjir bandang yang mengakibatkan rubuhnya Bendungan Ma’rib dan Kerajaan Saba yang berada di Yaman pada tahun 120 SM. Sebagian penduduk berhijrah dari Yaman dan sebagian lainnya tetap tinggal di Yaman. Mereka yang masih tinggal di Yaman mendirikan Kerajaan Himyar.
Di antara pemduduk yang hijrah, ada sekelompok penduduk yang disebut Banu Lakhmin. Banu ini merupakan keturunan Saba dan berasal dari Bani Qathan serta tergolong Al ’Arabul Aribah. Menurut para sejarawan, Banu Lakhmin mendirikan sebuah kerajaan di Hirah pada tahun 182 M. Kerajaan ini disebut Kerajaan Hirah karena berpusat di kota Hirah atau disebut juga Kerajaan Banu Lakhmin karena pendirinya Banu Lakhmin atau dikenal juga sebagai Kerajaan Manazirah karena kebanyakan dari para rajanya bernama Munzur, seperti Munzir I, Munzir II, Munzir III, dan Munzir IV.
Mulukuth Thawaif membiarkan Kerajaan Hirah berdiri di daerah kekuasaannya karena Mulukuth Thawaif hanyalah sekumpulan kerajan-kerajaan yang lemah. Persia (Mulukuth Thawaif) memang membutuhkan tenaga bangsa Arab (Banu Lakhmin). Persia sering diserang oleh bangsa Arab yang mampu mengadakan serangan-serangan dalam waktu singkat dan mampu merampok serta merampas. Kemudian harta hasil rampasan itu mereka larikan ke pedalaman Jazirah Arab. Orang Persia tidak mampu mengejar para perampok ini karena jalan yang kondisinya buruk dan sulitnya air di pedalaman Jazirah Arab.[1]


A.2 Letak Geografis Kerajaan Hirah
           Banu Lakhmi meninggalkan Yaman karena Bendungan Ma’rib jebol. Mereka pindah ke Hirah, yaitu suatu daerah di sebelah utara Jazirah Arab yang berada di bawah kekuasaan Mulukuth Thawaif.[2]  Pemukiman Hirah berada di sekitar tiga mil sebelah selatan Kufah. Kota Hirah berkembang menjadi ibu kota Arab Persia.[3]







A.3 Peranan Kerajaan Hirah untuk Kerajaan Persia
1. Untuk menjadi pelindung negeri Persia dari serangan-serangan bangsa Arab
Penduduk Arab Badiyah (padang pasir) sering menyerang Persia secara tiba-tiba. Mereka berhasil merampok dan merampas lalu membawa semua hasil rampokan ke pedalaman Jazirah Arab yang susah dijangkau oleh orang-orang Persia.
2. Untuk menjaga keamanan dan kelancaran dalam perniagaan bangsa Persia dari
    serangan  bangsa Arab
Bangsa Persia memiliki perniagaan yang dibawa ke Syam. Dalam perjalanan menuju Syam, bangsa Arab Badiyah sering merampok barang-barang perniagaan. Bangsa Persia membutuhkan kabilah Arab yang mampu menghalau gangguan dari bangsa Arab Badiyah ini.
3. Untuk menjadi bala tentara untuk melawan Kerajaan Romawi
Kerajaan Persia dan Kerajaan Romawi sering melakukan peperangan. Dalam peperangan, kedua kerajaan ini sering mengalami pergantian menang dan kalah. Kerajaan Persia membutuhkan tentara-tentara yang kuat dan tangguh yaitu bangsa Arab yang terbiasa dengan ganasnya tempat tinggal mereka.

A.4 Perpindahan Kekuasaan di Hirah dari Tangan Manazirah ke Tangan Kaum
       Muslimin
Untuk menyebar luaskan kekuasaan Islam ke Persia, maka perlu merubuhkan “dinding” yang membatasi Tanah Arab dengan Persia, yaitu Kerajaan Hirah. Abu Bakar menaklukkan Kerajaan Hirah setelah Rasulullah wafat. Khalid bin Walid dan bala tentaranya diutus ke Hirah yang pada saat itu sedang berada di Yamamah. Dalam perjalanan ke Hirah, Khalid berhasil menaklukan dengan mudah kota-kota yang dilaluinya. Sesampainya Khalid dan bala tentaranya di Hirah, para penduduk merasa bahwa tidak akan sanggup untuk menahan serangan Khalid. Para penduduk mengutus para penguasa di antaranya Iyas bin Qabishah agar berdamai dengan Khalid. Khalid setuju untuk berdamai dengan ditulisnya piagam perdamaian pada bulan Rabiul ‘Awal tahun 12 H / 632 M, namun Khalid memberikan syarat bahwa mereka harus membayar jizyah. Jizyah ini merupakan jizyah yang pertama dipungut di Irak. Khalid menyampaikan berita ini kepada khalifah kaum Muslimin, Abu Bakar.
Iyas bin Qabishah dipecat oleh Kisra karena mengadakan perdamaian ini. Ia digantikan oleh Munzir bin Nu’man bin Munzir. Ketika Khalid memasuki kota Hirah, Munzir melarikan diri, namun ia terbunuh. Dengan terbunuhnya Munzir, maka terjadilah kekosongan kekuasaan dan jatuhlah Hirah ke tangan Abu Bakar. Terbukalah kesempatan bagi kaum Muslimin untuk menundukkan Kerajaan Persia karena Kerajaan Hirah sebagai dinding pembatas antara Tanah Arab dengan Persia sudah rubuh. Kota Hirah dijadikan pusat kepemimpinan dan markas ketentaraan kaum Muslimin, maka tersebarlah agama Islam dan para penduduknya memeluk Islam.























B.   Kerajaan Ghassan

B.1 Latar Belakang Kerajaan Ghassan
Banyak suku yang hijrah dari Yaman akibat Bendungan Ma’rib jebol. Salah satunya adalah Bani Jafnah yang berjalan dari Yaman menuju utara dan menemukan sebuah dataran bernama Dataran Hauran yang berada di sebelah tenggara Damaskus. Mereka menemukan sebuah mata air yang bernama Ghassan dan menetap di sana, sehingga mereka dikenal sebagai Ghassasinah. Ada sebuah kabilah bernama Dhaja’imah yang terlebih dahulu menempati daerah Hauran sebelum Bani Jafnah. Keduanya sama-sama berada di bawah kekuasaan Romawi. Terjadilah perebutan daerah Hauran antara Kabilah Dhaja’imah dan Bani Jafnah sehingga peperangan tidak dapat dihindari. Banu Jafnah berhasil memenangkan pertarungan.
Romawi merangkul Banu Jafnah dan mengangkat mereka menjadi raja-raja bangsa Arab yang berada di Syam (Suriah). Kerajaan Ghasasinah berada di bagian selatan Syam yang didirikan pada tahun 210 M.


B.2 Letak Geografis Kerajaan Ghassan
Pada mulanya, Banu Jafnah (pendiri Kerajaan Ghassan) berdiam di Yaman, sebelah tenggara Damaskus – ujung utara rute perjalanan utama yang menghubungkan Ma’rib dengan Damaskus.[4] Banu Jafnah menggantikan keturunan Salih yang merupakan orang Arab pertama yang mendirikan kerajaan di Suriah.[5] Namun setelah Bendungan Ma’rib jebol, Banu Jafnah hijrah menuju ke utara dan akhirnya menemukan suatu dataran yang bernama Dataran Hauran yang terletak di sebelah tenggara Damaskus. Akhirnya, mereka menetap di sebuah mata air bernama Ghassan, maka orang-orang menyebut mereka Ghassasinah.

Ini merupakan peta Kerajaan Ghassan di Syam (Suriah)

B.3 Peranan Kerajaan Ghassan untuk Kerajaan Romawi
a. Untuk kepentingan perniagaan
Lintas perniagaan Timur Jauh yaitu Indonesia, Cina, Melayu, India, Ethiopia, Somali menuju Barat (Eropa) membawa barang-barang perniagaan seperti rempah-rempah (Indonesia), pedang dan tekstil (India), sutera (Cina), mutiara (Teluk Persia), budak, monyet / beruk, gading, emas, bulu burung unta (Ethiopia dan Somali).[6]
Kerajaan Saba dan Kerajaan Himyar memiliki armada laut yang besar untuk mengangkut barang-barang perniagaan ke pelabuhan-pelabuhan di Yaman, kemudian dilanjutkan melalui Laut Merah ke Ailah (Akabah) atau diangkut oleh kafilah-kafilah
unta melalui Hijaz ke ‘Ula (Daidan). Lalu dilanjutkan oleh orang-orang Anbath (penduduk Petra) ke wilayah Suriah untuk dijual di pasar-pasar dan di kota-kota pelabuhan di pantai timur Laut Tengah. Setelah Petra runtuh, pekerjaan ini dipegang oleh orang-orang Tadmur yang melamjutkan ke Eropa dan Mesir. Ketika kafilah-kafilah memasuki Suriah, suku-suku Arab yang tinggal di Hauran, di perbatasan Kerajaan Romawi atau di Jazirah Arab merampok barang-barang perniagaan yang dibawa mereka.[7]
Salah satu tujuan Kerajaan Romawi mendirikan Kerajaan Ghassan adalah menjaga keamanan dan menyelamatkan barang-barang perniagaan dari serangan para perampok suku-suku Arab.
b.      Untuk melindungi dan menjaga negeri Syam
Selain merampok, suku-suku Arab juga sering melancarkan serangan-serangan ke Syam melalui Gurun Pasir Suriah,
c.       Untuk menjadi bala tentara melawan Kerajaan Persia
     Sebelum Islam datang, Persia dan Romawi sering mengadakan peperangan. Namun, yang berperang bukan kedua kerajaan besar tersebut, melainkan bawahan mereka yaitu bangsa Arab melawan bangsa Arab lainnya.

B.4 Perpindahan Kekuasaan di Suriah Selatan dari Tangan Ghassasinah ke Tangan
Kaum Muslimin
kaum  Muslimin menyerang Syam, yang berkuasa di Kerajaan Ghassasinah adalah Jabalah Ibnu Aiham atau Jabalah VI. Jabalah merupakan seorang raja yang terpandang di kalangan Romawi dan di kalangan lainnya. Jabalah berpihak pada Romawi dan setelah negeri Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin pada tahun 17 H / 638 M, ia masuk Islam dan berkunjung ke Madinah.
Saat Jabalah mengerjakan thawaf di sekeliling Ka’bah, kain panjangnya yang menjulur ke tanah tidak sengaja terinjak oleh seorang dari suku Fizarah. Ia marah dan menampar wajah orang Fizarah itu hingga remuk hidungnya. Akhirnya, orang Fizarah itu mengadukan perihal yang terjadi kepada khalifah Umar. Kemudian, Umar memanggil Jabalah dan duduk di samping orang Fizarah itu. Ia merasa terhina. Umar menjatuhkan hukuman qawat yang berarti wajah Jabalah harus ditampar oleh orang Firazah. Jabalah tidak mau menerima hukuman tersebut karena ia sebagai seorang raja merasa lebih tinggi derajatnya dari pada orang Firazah yang hanya seorang rakyat. Ia meminta penangguhan hukuman kepada Umar dan Umar menyetujuinya. Malam harinya, ia melarikan diri bersama para pengawalnya ke Konstantinopel dan murtadlah ia dari Islam dan menganut agama Masehi kembali.
Jabalah menetap di Konstantinopel di bawah perlindungan Kerajaan Romawi, Heraclius I. Di penghujung usianya, Jabalah sering menangisi keindahan kota Damaskus. Untuk menghibur hatinya, ia sering mengundang biduanita untuk menyandungkan syair-syair yang menggambarkan keindahan negeri Syam. Keruntuhan Kerajaan Ghassasinah terjadi karena wafatnya Jabalah di Konstantinopel pada tahun 20 H / 641 M. dengan meninggalnya Jabalah, maka Kerajaan Ghassasinah jatuh ke tangan kaum Muslimin.

B.5 Peninggalan Kerajaan Ghassan
Kerajaan Ghassan sebagai jembatan antara kebudayaan Romawi dan Suriah di Tanah Arab. Kebudayaannya meliputi filsafat, ilmu pengetahuan umum, ilmu perang, menulis dan membaca, dan lain-lain.
Orang-orang Ghassan di Suriah bagian selatan membangun kota-kota, desa-desa, gedung-gedung, gereja-gereja, jembatan-jembatan, sumber-sumber air, kolam-kolam pemandian, benteng-benteng dengan menara-menaranya yang disertai dinding-dinding yang kokoh dan kuat. Benteng ini didirikan di sekitar gurun pasir sebagai pelindung dari serangan-serangan Kerajaan Hirah.
Mereka juga membangun Al-Qashrul Abyadh (Istana Putih) di sebuah dataran di sebelah tenggara kota Damaskus. Istana ini terkenal dengan ukiran-ukiran dan hiasan-hiasannya. Bentuk bangunan-bangunan adalah campuran dari bentuk dan gaya Yaman, Suriah dan Romawi karena ketiganya mempengaruhi kebudayaan mereka.




KESIMPULAN

Pada hakikatnya, pendiri Kerajaan Hirah adalah Persia dan pendiri Kerajaan Ghassan adalah Romawi. Persia dan Romawi mendirikan kerajaan tersebut untuk kepentingan pribadi seperti yang telah disebutkan di atas. Keruntuhan kedua kerajaan ini terjadi setelah kaum Muslimin datang dan menaklukan kedua kerajaan ini. Peninggalan-peninggalan kedua kerajaan ini masih terus dicari dan dipelajari oleh para ahli untuk mendapatkan fakta-fakta dan data-data sejarah dari sumber-sumber yang asli.






















DAFTAR PUSTAKA

Hitti, Philip K. History Of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Yahya, Mochtar. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
www.google.com



[1] Yahya, Mochtar. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
[2] Hitti, Philip K. History Of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

[3] Ibid
[4] Hitti, Philip K. History Of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

[5] Ibid.
[6] Yahya, Mochtar. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

[7] Yahya, Mochtar. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar